Meng-LPJ-kan Beasiswa

Pengadaan beasiswa bagi mahasiswa sangat penting dalam memajukan pendidikan Aceh. Apalagi jika penerima beasiswa  hanya mahasiswa yang memiliki kelebihan tertentu. Tak disama-ratakan. Ini dapat memotivasi yang lainnya. Kecuali itu, pemberian beasiswa dapat membantu ringankan beban orangtua mahasiswa, sehingga secara tak langsung, mengurangi angka kemiskinan di Tanah Rencong.

Sejatinya pemberian beasiswa untuk meningkatkan mutu pendidikan bangsa. Namun begitu, ia juga tak menjamin mendongkrak kualitas intelektual para penerimanya. Sebab mereka menggunakan beasiswa bukan untuk keperluan penunjang pendidikan, melainkan untuk membeli aksesoris demi mendongkrak penampilan diri. Inilah yang menjadi tugas Pemerintah Aceh sekarang atau ke depan.

Dalam beberapa tahun terakhir, patut diduga, kebanyakan mahasiswa penerima beasiswa memanfaatkan uang dari beasiswa bukan demi menunjang pendidikan. Sebagai contoh, tak lama usai menerima beasiswa, mahasiswa penerima beasiswa sudah mengeluarkan laptop baru dari ranselnya, menempelkan hape merek terbaru di telinganya,  dan mengenakan pakain baru yang modis. Penampilan seperti itu tak terlihat sebelum ia menerima beasiswa.

Patut diduga, ia pasti membelinya dengan menggunakan uang dari beasiswa. Kecil kemungkinan dari uang yang ia peroleh sendiri dari usahanya atau dari orangtua. Sebab uang kiriman orangtua hanya untuk biaya kuliah. Kalau uang sendiri sudah pasti tak mungkin, sebab salah satu syarat calon penerima beasiswa selama ini umumnya harus melengkapi dengan surat keteragan tidak mampu dari kepada desa di kampungnya.

Nah, saya punya diagnosa bahwa syarat harus memiliki surat keterangan tidak mampu itu sebuah petaka. Betapa tidak, ada mahasiswa yang mampu dari segi ekonomi malah mengurus surat itu juga. Sangat disayangkan lagi bila harus membuat surat keterangan tidak mampu palsu dengan men-scan tanda tangan keucik. Jika pun dibuat secara sah, surat keterangan tidak mampu itu seperti sepucuk doa kepada Tuhan bahwa ia meminta untuk tidak mampu dalam membiaya pendidikannya—doa yang sangat bodoh dan pesimis!

Dari itulah, harus menjadi perhatian utama bagi pemerintah Aceh ke depan dalam memberikan beasiswa kepada mahasiswa Aceh. Jangan sampai terkesan menghambur-hamburkan uang atau hanya sekadar menjalankan apa yang sudah termaktub dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau Aceh. Pemerintah harus benar-benar selektif. Dan saya yakin, kepemimpinan Zaini-Muzakkir mampu melakukan itu dengan baik.

Untuk itu, pemerintah Aceh perlu mengklasifikasi mahasiswa yang bagaimana saja layak menerima beasiswa. Saya mengusulkan program yang saya sebut “dua sebelum dan dua setelah” berikut. ‘Dua sebelum’ adalah dua syarat bagi mahasiswa calon penerima beasiswa, sedang ‘dua setelah’ merupakan dua hal yang harus diterapkan pemerintah Aceh kepada para mahasiswa penerima beasiswa.

Adapun ‘dua sebelum’ adalah sebagai berikut. Pertama, beasiswa diprioritaskan bagi calon mahasiswa (lulusan sekolah menengah atas/sederajat) yang tidak mampu melanjutkan ke jenjang lebih tinggi, bukan kepada mahasiswa kurang mampu, baik masih memiliki orangtua maupun tidak. Pemerintah perlu membuat semacam tim khusus (timsus) melalui dinas pendidikan Aceh maupun kabupaten/kota. Timsus itu nantinya akan turun ke 23 kabupaten/kota di Aceh, begitu kelulusan Ujian Nasional (ujian akhir) diumumkan. Mereka akan (harus) mendatangi setiap sekolah dan wali murid yang ingin anaknya melanjutkan pendidikan. Di sinilah, calon mahasiswa berpotensi akan ditemui dan perlu dibiayai pendidikannya. Kenapa tidak untuk mahasiswa kurang mampu? Karena mereka setidaknya sudah mampu menyambung kuliah dan punya peluang untuk mencari pemasukan sampingan sembari kuliah jika sadar diri sebagai seorang mahasiswa yang hidup di negara berkembang.

Kedua, beasiswa diperuntukkan bagi mahasiswa berprestasi di dalam dan luar kampus. Selama ini beasiswa hanya disalurkan bagi mahasiswa yang berprestasi di bidang akademisnya saja; beasiswa diberikan bagi mahasiswa yang memiliki Indeks Prestasi tinggi, misal harus memiliki IP minimal 3 koma sekian. Namun pihak kampus seperti melupakan mahasiswa yang punya prestasi di luar kampus. Mereka adalah mahasiswa yang mengharumkan nama perguruan tinggi di luar, di antaranya: mahasiswa yang tulisannya kerap dimuat di media massa, mahasiswa yang memimpin komunitas tertentu, mahasiswa yang memenangkan even melalui organisasi di luar kampus, mahasiswa yang membuat temuan baru, dan sebagainya. Ada baiknya kepada mereka tetap diberikan beasiswa meskipun IP-nya di bawah angka yang ditentukan. Bukankah manusia itu punya “tempat” sendiri? Manusia bisa saja cerdas dalam memasak tapi sangat bodoh dalam bercocok tanam. Seorang mahasiswa sangat mahir melukis dan memenangkan berbagai lomba namun anjlok indek prestasinya.

Kedua kriteria calon penerima beasiswa itu kiranya sangat bagus diterapkan. Karenanya,  Pemerintah Aceh juga harus membuat kebijakan bagi penerimannya, yaitu “dua setelah” sebagai berikut.

Pertama, pemerintah mewajibkan mahasiswa Aceh penerima beasiswa untuk menggunakan beasiswa hanya demi menunjang pendidikannya. Penerima diharuskan membeli buku (apa saja sesuai selera mereka) dengan separuh uang dari beasiswa yang diterima. Separuhnya lagi, mahasiswa menggunakannya untuk membelanjakan keperluan kuliah, atau, digunakan sebagai modal untuk membuka usaha sampingan.

Kedua, penerima beasiswa harus membuat laporan pertanggung jawaban (LPJ) penggunaan beasiswanya. Mereka harus membuat daftar aliran dana dari beasiswa yang diproleh setelah bantuan itu habis digunakan. Maka setiap mahasiswa diharuskan membuat faktur atau bon setiap membelanjakan uang dari beasiswanya, sehingga memudahkan dalam membuat LPJ. Ini perlu dilakukan karena akan membantu pemerintah sendiri dalam menganalisis APBD, APBA, atau APBN, tergantung pihak mana (salah satu dari tiga anggaran itu) yang memberikan beasiswa.

Kiranya “dua sebelum dan dua setelah” itu sangat bagus bagi membangun kualitas pendidikan Aceh. Ada beberapa manfaatnya. Misal, mahasiswa yang tak berprestasi akan berlomba-lomba untuk kreatif dan sungguh mempelajari hal baru. Kecuali itu, para penerima beasiswa tersebut bakal menjadi generasi emas ke depannya, baik bagi Aceh sendiri maupun negara.

Pemerintah Aceh ke depan perlu menggerakkan program “dua sebelum dan dua setelah”. Tak hanya menjalankan, tapi juga menganalisisnya. Program beasiswa yang demikian itu misalnya dicobah dulu barang empat tahun. Nah, dengan melibatkan timsus dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, pemerintah harus mengevaluasi setiap tahunnya. Dan di tahun terakhir, pemerintah harus sudah mengantongi jawaban, apakah program itu lebih efektif atau malah kian merosot. Jika efektif, ia harus dilanjutkan pada periode selanjutnya. Namun jika sebaliknya, harus mencari solusi baru. Tapi saya yakin, program beasiswa “dua sebelum dan dua setelah” itu sangat efektif.

Keefektivan itu tentuk tak murah. Untuk meraihnya, pemerintah harus secara transparan mengelola anggaran beasiswa bagi mahasiswa Aceh di perguruan tinggi negeri, baik mahasiswa strata satu, dua, dan tiga; baik dalam maupun luar negeri. Terkait mahasiswa berbeda strata, pemerintah perlu memplot anggaran sesuai dengan kebutuhannya, dengan menyesuaikan dengan di mana ia kuliah dan jurusan apa. Kecuali pemerintah, dari rektorat pun harus transparan dalam menyalurkan beasiswa. Jangan ada “main mata”. Antara pemerintah dan perguruan tinggi harus saling bekerjasama secara “bersih” dalam menyalurkan beasiswa bagi mahasiswa Aceh.

Pada akhirnya, kebijakan pemerintah akan berpengaruh pada pemerintahan itu sendiri. Jika pemerintah membantu mahasiswa dalam menempuh pendidikan, mahasiswa juga akan membantu pemerintah semampunya. Dan kebijakan kampus juga akan berpengaruh bagi mahasiswanya. Jika kampus menyayangi mahasiswa, musatahil mahasiswa membenci kampus. Kita berharap antarsesama kita saling mengerti. Tidak saling menumbuhkan budaya “berbuat buruk jika ada kesempatan”, apalagi memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Semoga generasi Aceh ke depan semakin cerdas.[]

Tulisan ini masuk dalam 10 artikel terbaik pada lomba menulis Suara Rakyat Aceh yang diselenggarakan GAMNA pada Juni 2012 dan dibukukan dalam antologi “Suara Rakyat Aceh : Sebuah Harapan untuk Pemimpin Aceh”

 

 

 

 

Author: Makmur Dimila

A calm boy. Love reading, travelling, and writing.

2 thoughts on “Meng-LPJ-kan Beasiswa”

Terimakasih telah berkunjung. Komentar Anda kebahagiaan kita. :D