Dari Partai Komunis ke Partai Duren

Kota Bertuah. 5 Februari 2011. Jam 9 malam. Di ruangan itu ada Andreas (Andreas Harsono), Buset (Budi Setiyono). Keduanya dari Yayasan Pantau. Ada kru Bahana Mahasiswa (LPM Universitas Riau). Ada Samin, yang mengatasnamakan dirinya sebagai korban 1965/1966 di Riau. Hadir pula AH Nasution (Abdul Hamid N) dari Aklamasi (LPM Universitas Lancang Kuning).  Juga ada Zoel Masry (Lensa Unmuha). Dan beberapa peserta Workshop Menulis. Tentunya ada aku, Makmur Dimila dari IAIN Ar-Raniry.

Kami mau mendiskusikan pemberontakan 1965-1966 yang dikenal dengan Gerakan 30 September. Masa itu diperkirakan 50 ribu sampai 2 juta jiwa manusia terbunuh. Peristiwa itu juga membawa kesengsaraan bagi warga Indonesia dan anggota keluarga yang dituduh komunis, meski belum tentu benar. Para tertuduh yang ditangkap kebanyakan tidak diadili. Mereka langsung dihukum. Bahkan setelah keluar dari penjara, mereka juga dibatasi ruang geraknya dengan penamaan eks tapol. Pemberontakan 1965 merupakan halaman terhitam sejarah Indonesia.

A.S. Dharta, sastrawan Indonesia, adalah salah satu eks tapol itu. Nama penanya Klara Akustia, atau, Jogaswara. Ia diciduk di Bandung. Lalu masuk penjara Kebonwaru. Masa Orde Baru, Soeharto memasungnya selama 15 tahun. Tak bisa berbuat apa-apa. Buset sendiri baru-baru ini telah menuliskan buku kumpulan esai kritik sastra AS Dharta. Judulnya ‘Kepada Seniman Universal’.

Sambilan membaca novel karena pening mendengar diskusi akibat kelelahan, aku sempat mendengar pernyataan Mas Buset tentang sastra masa kini. “Dalam buku ‘Sastra Konstektual’ dikatakan, mestinya karya sastra (Inodenesia) sesuai dengan keadaan (konstek) masyarakat, seperti masa AS Dharta,” kata Buset. Sastra sekarang sangat jauh dari hal itu. “Sekarang duduk di ruangan dan menghayal,” kata Buset.

zZz.. zZz.. Ngantuk… Ah, minum dulu. Malas bahas PKI. Hehe

Mereka yang dibunuh dan dipenjara adalah yang dianggap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Di Indonesia, PKI lahir pada 1926. Sejak itu Indonesia jadi satu kekuatan besar komunisme dunia. Gerakan PKI juga muncul pada masa perang kemerdekaan Indonesia. Diawali oleh kedatangan Muso secara misterius dari Uni Soviet ke Indonesia. Ia berpidato di Yogyakarta dengan kepercayaan murni komunisme.

Komunisme mendunia pada abad 19. Tahun 1867, Karl Marx dari bangsa Yahudi, menerbitkan buku ‘Das Kapital’. Buku ini merupakan pemikirannya tentang paham komunis. Sehingga, seperti kata Andreas Harsono, yang menciptakan komunisme adalah Karl Marx.

Dalam buku ini, salah satu pemikiran Karl Marx adalah, dunia ini bisa dianalisis dengan analisis kelas. Miskin dan kaya. Yang kerja mempekerjakan yang miskin. Yang berkuasa menindas yang lemah.

“Masyarakat bisa berkembang ketika ada perubahan cepat. Perubahan cepat ini dengan memerang raja-raja (dictator),” kata Andreas Harsono.

Ketika komunisme berkembang, muncul fasisme sebai musuh komunisme. Dalam fasisme ada realism. Kata Andreas, fasisme adalah paham yang mengatakan bahwa yang benar itu hanya dirinya/kelompok mereka.

Diskusi berlanjut. Tapi aku, beberapa kawanku juga asik membaca; novel, kumcer, umum, dsb. Memang menyebalkan. Kadang sempat menegangkan karena perselisihan argument antara Samin yang pro PKI dan seluruh peserta lain yang kontra PKI, atau tak memperdulikan diskusi ini sama sekali.

“Untuk mengetahui Soekarno, generasi sekarang harus membaca banyak buku. Salah satunya buku Tubapi; Tujuh Bahan Pokok Indonesia.” Inilah ungkapan yang kutangkap dari Samin. Rambutnya sudah beruban. Usianya kira-kira 70-an.

Lalu diskusi dihentikan. Masalah semakin rumit. Kami bingung. “Kita bahas di Partai Duren saja, Pak Samin,” kata Andreas. Ia terkekeh. Diikuti tawa peserta. “Setuju, Mas,” kata Zoel. Lalu semuanya beranjak. Keluar.

Partai Duren

Jam 10. Dingin. Lampu-lampu seperti kunang-kunang di sepanjang jalan. Dari kantor Kadin (Kamar Dadang dan Industri) tempat kami berdiskusi, kami menuju ke kedai Pangeran Duren. Masih di jalan Jendral Sudirman. Kedai duren ini terletak di pinggir jalan.

Di sana, aku duduk tidak semeja dengan Andreas dan Buset. Kedua guru kami itu lebih dulu tiba disbanding kami yang harus menunggu jemputan ‘kloter 2’. Tapi, aku duduk semeja dengan Ilham Yasir ketua AJI Pekanbaru.

Kedai itu berwarna hijau. Di depannya ada rak khusus yang menjaja buah durian. Dalamnya juga tersedia duren yang telah dikemas, seperti dodol duren. Di satu sisi dinding kedai, ada belasan foto terbingkai. Pemilik kedai bergantian berpose dengan tokoh figuran Indonesia, seperti dengan Uya Kuya, Bambang Pamungkas, Darius Sinatra, Didi Petet, Andi Malaranggeng, Helmi Yahya.

Tak lama kami dihidangkan duren yang sudah dibelah, lengkap dengan kulitnya. Bagi yang mau makan dengan pulut bisa juga. Orang Riau menyebut pulut (pulot) bagi nasi ketan. Buleukat, kalau dalam bahasa Aceh. Aku juga pake pulut. Enak lho. Hehe.

Usai menyantap duren, kami berbincang sebentar. Ilham Yasir bergabung di harian Riau Pos sejak 2001. Kini ia sebagai redaktur opini di sana. Ia juga menjabat sebagai ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Pekanbaru sejak tahun lalu.

Kami bincang-bincang soal jurnalistik. Zoel sempat mempertanyakan masalah kabar burung kalau wartawan di Riau suka nerima amplop.

“Tidak. Itu yang menerima amplop biasanya wartawan warga dari Medan yang meliput di Pekanbaru. Mereka bawa laporan ke Medan. Kalau wartawan tidak menerima amplop, keculi ada sedikit saja,” kata Ilham.

Di kota Pekanbaru ada 11 surat kabar, kata Ilham. Soal gaji, wartawan di Pekanbaru yang baru dikontrak paling kecil menerima gaji per bulan adalah 1,7 juta. Kurang dari itu tidak. “Tapi tergantung media juga,” kata Ilham.

Ia juga berkeinginan ke Aceh setelah kami ceritakan tentang AJI Banda Aceh. Apalagi ia sangat senang mendengar adanya Muharram Journalism College (MJC) di Banda Aceh. Kemudian ia meminta nomor hape ketua AJI Banda Aceh, Mukhtaruddin Yacob, untuk berkomunikasi, katanya. Ia akan ke Aceh.

Sekitar satu jam di Pangeran Duren, kami anggota Partai Duren pulang. Andreas diantar ke penginapannya, mungkin ke hotel. Sedang kami ke secretariat Bahana Mahasiswa di Unri, Gobah.

SEKIAN

Author: Makmur Dimila

A calm boy. Love reading, travelling, and writing.

4 thoughts on “Dari Partai Komunis ke Partai Duren”

Leave a reply to makmurdimila Cancel reply