Pengalaman dari Dua Koran (4)

Sebaiknya baca dulu bagian 1 lalu 2 dan 3

Harian Pikiran Merdeka dengan tampilan baru. (Dok. Me)
Harian Pikiran Merdeka dengan tampilan baru ucai dicetak di Gramedia Medan. (Dok. Me)

Harian Pikiran Merdeka beredar pertama pada 27 Februari 2012. Senangnya bisa terlibat dalam penebitan surat kabar di usia muda. Semangat menulis pun membara. Rupanya melahirkan koran gampang, tapiiiiiiiiii, sulit mempertahankannya.

“Saya heran, ada koran harian umum di Aceh yang berani jual seribu per eks,” kata dosen Jurnalisme Media Cetak saya ketika belajar Manajemen Koran pada 30 Maret 2012 di SMA Adi Darma Banda Aceh, Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry sementara.

Dosen itu menyeka peluh dengan tisu, lalu menyambungnya dengan tampang serius, “seperti Pikiran Merdeka. Kalau tak berhasil, tak lama lagi akan kolaps.”

Waduh, saya tersentak mendengarnya. Namun hanya tertawa dalam hati. Kuyakin, kawan-kawanku pasti terbersit diriku. Mereka pun menoleh ke saya.

Mengingat kata-kata itu, saya menyimpulkan: pertama, sang dosen yang merupakan orang penting di koran terkemuka Aceh, masih belum tahu kalau saya bekerja di redaksi Pikiran Merdeka yang setiap malam saya seruang dengan Pemred; kedua, ia merasa korannya SI tersaingi dengan strategi PM yang berani jual seribu rupiah per eks berjumlah 16 halaman; ketiga, ia pura-pura tak tahu dan memancing reaksiku sebagai kru PM.

Ya, saya di akademisi bernama Makmur. Hanya di media namaku Makmur Dimila. Dan saya ingin dosen-dosen dari praktisi media tak tahu kalau saya Makmur Dimila hingga saya selesai kuliah di IAIN Ar-Raniry. Saya ingin seperti kata kawanku Putra Hidayatullah yang mengutip Ernes Hemingway, “the good writer is invisble.”

Ketika pernyataan dosen tadi kusampaikan ke redaksi, kami tertawa dan bangga. Artinya, SI merasa tersiangi. Belum lagi ketika PM cetak di Medan mulai April 2012 dengan kualitas kertas Harian Kompas dan empat halaman warna. Semoga ke depan saya akan mendengar sang dosen berkata: Pikiran Merdeka gila! Kualitas kertas makin bagus dengan harga seribu.

Saat itu kami optimis sekali mustahil PM kolaps. Tapi optimisme tak selamanya memberikan kemenangan dan prediksi buruk adakalanya patut dipertimbangkan.

Ya, 21 Mei 2012, nomor 84, menjelang tiga bulan, menjadi hari terakhir (jika tak lanjut) Harian Pikiran Merdeka terbit. Saya tak menyangka ketika masuk kantor, sore usai dari kuliah, kru redaksi tengah berkumupul di lantai bawah. Rapat mendadak! Tak ada pemberitahuan.

Rapat berlangsung alot penuh debat, terkait finansial dan manajemen yang berimbas pada kualitas pemberitaan. Keputusannya, koran jeda terbit seminggu.

Pikiran saya melayang ke Maret di ruang kuliah, dengan cahaya buram di mata. “… Kalau tak berhasil, tak lama lagi akan kolaps.” *#$–$&##* “… Kalau tak berhasil, tak lama lagi akan kolaps.” *#$–$&##* “… Kalau tak berhasil, tak lama lagi akan kolaps.” *#$–$&##*

Hadeuuuuh, bagiku, kejadian ini hantaman keras. Dua kali mengalami kejadian yang sama di dua koran mainstream berbeda. Sebelumnya, HA, jeda terbit sejak 16 Mei 2012, juga karena finansial, soal kepemilikan saham, kejadiannya sama seperti cooling down pada 3 Februari 2012—(hari terakhir kami terbit)—ketika kami semua masih di HA.

Saya trauma. Apakah melanjutkan karier di harian atau berhenti?

Seminggu kemudian, kantor Harian Pikiran Merdeka berdiri tegak di bibir jalan, dengan ruang yang didesain elegan. Tiada lagi perdebatan, asap rokok, musik berdentam, atau melihat wanita cantik dari teras lantai tiga.

Halaman depan kantor HPM di Lambhuk. (Dok. Zulham Yusuf/http://followgram.me/i/193202905301494971_35616130)
Halaman depan kantor HPM di Lambhuk. (Dok. Zulham Yusuf/http://followgram.me/i/193202905301494971_35616130)

Kini ia sebuah monumen pers Aceh, kalau patut dianggap. [Tamat, sementara]

Rumoh Aceh, 6 September 2013

Author: Makmur Dimila

A calm boy. Love reading, travelling, and writing.

Terimakasih telah berkunjung. Komentar Anda kebahagiaan kita. :D