Muhammad Taib (37), pedagang tembakau asal Gayo Lues, merasa sakit di perutnya dua hari sebelum meugang puasa Ramadhan 1431 H. Kedua kaki pria menetap di Nagan Raya sejak 10 tahun terakhir itu kemudian tak bisa digerakkan. Urat pahanya membengkak, kian hari kakinya kian membesar. Rohani, sang istri, memijitnya ketika kumat. Sejak hari itu, Muhammad Taib tak bisa berjalan lagi. Keluarganya tak tahu apa yang diderita Taib. Kata orang, ia terkena batu karang, karena saluran kencingnya kerap tersumbat.
Pada November 2010, ia dibawa ke Rumah Sakit Ujong Patihah, Nagan Raya. 15 hari ia terbaring di sana. Meski sudah 3 kali dirontgen, tapi tidak diketahui apa penyakit yang mendera Taib. Kemudian dia dibawa ke Padang Terangun, Blangkeujeren. Di sana dia berobat secara tradisional pada dukun kampung, dirajah selama satu bulan. Menurut sang dukun, Taib menderita peunyaket donya, sebutan untuk berbagai jenis penyakit yang tak diketahui jenisnya.
Awal Januari 2011, Muhammad Taib dibawa ke Rumah Sakit Permata Bunda, Medan. Setelah tiga hari di sana, barulah diketahui ia menderita tumor abdomen seperti terlihat saat dirontgen. Ketika mengetahui itu, selera makan Muhammad Taib raib. Berat badannya yang semula 75 kg perlahan menyusut hingga berbungkus tulang.
Pulang dari Medan, Muhammad Taib didaratkan di Rumah Sakit Kontiner, Gayo Lues. Dirawat seminggu. Sayang, di sana ia tak bisa ditangani. Ada alat untuk operasi, tap tak ada ahli. Saran dokter di sana, ia dirujuk ke Rumah Sakit Umum Zainal Abidin (RSUZA) Banda Aceh.
Selasa (13/02/11), Taib terbaring di kamar 7 ruang Mamplam RSUZA. Perutnya membuncit, tulang rusuk menonjol. Perban untuk menutupi penghubung infus menempel di bawah ketiak kirinya. Urat paha timbul-timbul seperti bisul. Dari pangkal paha hingga ke ujung kaki mengembung. Berat badannya hanya 45 kg, dari semula 75 kg.
“Kaki enggak bisa bergerak dua-duanya,” tutur Taib lirih. “Tumornya terletak di bawah perut,” sela Rohani. “Tepatnya di bawah pusat,” sambar Muhammad Taib.
Muhammad Taib ditangani dr. Dedi, spesialis penyakit dalam. Di rumah sakit bantuan Jerman itu, Taib masih sebatas dalam proses perawatan, belum dioperasi. Sudah sebulan lebih ia menginap di sini. Dalam kurun itu, ia telah dirontgen, scan, foto, “banyak udah, entah apa-apa namanya,” kata Rohani, mengingat-ngingat.
“Kata dokter, Bapak (Muhammad Taib) harus menormalkan dulu berat badannya, baru kemudian dapat dioperasi. Bapak aja yang makannya kurang selera,” ujar Rohani.
Tiba-tiba handphone Rohani berdering. “Geh enye kokini. Aku male ulak kejep. (Suruh Adek kemari. Ibu mau pulang sebentar),” minta Rohani. Rohani ingin pulang ke Nagan Raya untuk menjenguk Irma Riska yang sering menangis.
Pasangan Taib-Rohani mempunyai tiga orang anak. Kasmalinda yang saat ini tengah duduk di bangku kelas 2 SMP dititip sama neneknya di Nagan Raya. Ketika liburan, Kasmalinda jualan tembakau di sebuah kedai untuk sekadar mendapatkan jajan. Irma Riska, anak keduanya yang kelas 5 SD sering menangis di sana bersama neneknya. Yusnidar, bungsu berusia dua tahun dibawa serta menjaga ayahnya di RSUZA. Rohani menjadi guru honor di SD 1 Nagan Raya sejak 2004 sampai sekarang, meski harus cuti sebulan ini untuk menemani sang suami.
Kue pembangunan
Muhammad Taib menggunakan JKA sejak berobat ke Nagan Raya, kecuali waktu ke Medan. Transportasi ditanggung Pemda juga. “Program JKA ini sangat bagus pelayanannya. Bahkan tadi pagi saya dimandiin,” kata Taib bangga.
“Orang di sini ramah. Setiap hari spreynya diganti. Di rumah aja tak seperti ini,” katanya lagi sembari menyeru warga miskin yang sedang menderita penyakit agar memanfaatkan program JKA yang sedang berjalan ini.
“Kami masyarakat, maunya JKA ini dilanjutkan,” harap Rohani. “Bayangkan kalau kita mau operasi ke Medan, uang Rp belum tentu cukup. Tapi di sini kan semuanya ditanggung. Inilah saatnya kami menikmati dana pembangunan yang melimpah,” sela Taib.
Kendala saat urus JKA, kata mereka, cuma harus antri saja. “Karena terlalu rame, ya kita antri. Kami maklumi kondisi ini, sejauh pihak rumah sakit tak membedakan bentuk-bentuk pelayanan,” kata Rohani.
Fenomena booming JKA
Kepala komplain dan humas JKA, Saifullah Abdulgani, menyebutkan jumlah pasien yang berobat melalui JKA membludak sehingga antrian panjang tak dapat dihindarkan.
“Hal ini disebabkan dua hal. Pertama, sistem rujukan belum berjalan efektif. Kedua, sejak ada JKA berbagai jenis penyakit yang selama ini tak bisa diobati telah ikut ditangani JKA. Makanya, antrian pasien JKA membludak. Ini disebut fenomena booming. Terkadang ada pasien yang terpaksa dirawat sampai 6 bulan sehingga penggunaan bed makin panjang,” ungkap mantan pekerja BRR NAD-Nias ini yang ditemui Senin (12/2/11) petang di sebuah warung kopi.
Untuk mengantisipasinya, Saiful menyarankan, bagi pasien rawat inap bisa dititipkan ke RS Kesdam, Harapan Bunda, Meuraxa dan lain-lain yang ada jaringan dengan RSUZA.
(Tabloid TABANGUN ACEH, edisi 12, April 2011)