Belajarlah pada Hasan Tiro dan La Lutta Continua


Rambutnya beruban. Kulitnya putih susu kental Carnetion. Biasanya ia memakai kacamata hitam gelap, sepatu sport, baju batik, dan celana jeans. Perawakannya sedang. Suka senyum. Setiap ditanyakan, selalu dijawabnya dengan tegas. Ia akan menjawab dengan menyebutkan fakta-fakta. Ia tak akan menjawab jika tak tahu faktanya. Pengetahuan dan wawasannnya internasional. Cobalah ketika kau sempat menanyakan sesuatu padanya, pasti ia akan mudah menjawab. “Jika kau menulis, kau harus tahu dan berani. Tidak tahu saja dan tidak berani saja,” kata dia. Begitulah Andreas Harsono.

Aku baru kali ini berjumpa dengannya. Kami telah bertatap muka selama seminggu (30 Januari – 6 Februari 2011) di workshop menulis dengan tema ‘Panjang, Dalam, dan Terasa’. Di pelatihan itu ia ditemani Chik Rini, penulis kelahiran Banda Aceh yang terkenal dengan naskah ‘Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft’. Kami—22 pers mahasiswa Sumatera—telah hidup bersama di Sei Rokan Training Centre, Riau yang dikelilingi perkebunan sawit.

Kami banyak mendapatkan ilmu baru selama pelatihan itu. Terutama soal sembilan elemen jurnalisme yang ditulis Bill Kovach (guru Andreas Harsono di Harvard University) dan Tom Rosenstiel.

Kini kami tahu, bahwa media-media Indonesia masih melakukan kelasalahan dalam hal penerapan kebenaran fungsional, penggunaan byline (nama penulis berita haru ditulis secara lengkap), penggunaan pagar api (pemisah antara berita dan iklan), propaganda, dan sebagainya.

Kini kami tahu, kami harus menerapkan elemen jurnalisme yang ke-10 kata Andreas, yaitu new journalism. Jurnalisme baru itu adalah media online, seperti jejaring social, portal berita, mesin pencari (search engining) macam Google, de el el.

Kini kami tahu, cara menulis panjang, dalam, dan terasa, atau yang disebut dengan narasi. Dimana dalam narasi ini, wartawan butuh proses berbulan-bulan bahkan setahun untuk menyelesaikan naskahnya.

“Minimal 50 narasumber untuk narasi dan minimal 5.000 kata,” kata Andreas. “Narasi itu ibarat menyorot dengan kamera, yang berpindah dari satu adegan ke adegan lain,” kata Chik Rini. “Kalau feature, ia ibarat tampilan slide show foto. Berpindah dari satu foto ke foto lain.

Saran Andreas Harsono, pers mahasiswa sekarang harus belajar bahasa inggris. Dan, “harus membaca naskah-naskah luar negeri,” kata Chik Rini. Atau, “menjadi wartawan harus berani, jujur, dan malu. Maksudnya malu untuk melakukan hal-hal yang tak sesuai dengan kode etik jurnalistik,” kata Rini PWI yang diundang sebagai guest speaker di pelatihan itu untuk memperkenalkan kami cara mengambil foto.

Masih banyak hal yang kami dapatkan. Tak sanggup kutuangkan sekali tulis ini saja. Mungkin aku akan menyambungnya di hari kemudian. Dan aku paling ingat dari Andreas Harsono adalah la lutta continua. Artinya, lanjutkan perjuangan. Itu dikutipnya dari bahasa latin. Ia biasa menuliskan itu di lembaran bukunya ‘Agama Saya Adalah Jurnalisme’ ketika orang meminta tanda tangan dan testimony darinya.

Di bukuku, Andreas Harsono menuliskan “Makmur, sebagai putra Acheh, kamu harus belajar dari Hasan Di Tiro”. Wow, kata-kata yang luar biasa kupikir. Aku mendengarnya dalam hal ini. Sebab ia banyak tahu tentang Aceh, melebihi wawasanku yang minim tentang tanah kelahiranku sendiri. Tak percaya? Tanyalah padanya tentang Aceh ketika kau berjumpa.