Bahasek Bala


Sepertinya sebagian orang Aceh juga kreatif dan lebay dalam berbahasa. “Kita akan menemukan ‘bahasek bala’ dalam gurauan sehari-hari,” kata Je awali cerita di kantin kampus. Bahasek bala sama dengan bahasa balek, yaitu sebuah bahasa ciptaan masyarakat Aceh. Caranya mudah sekali. “Mudi sekalah,” kata Je.

Umumnya, satu atawa dua atau tiga huruf terakhir dari kata kedua diganti dengan satu atawa dua atau tiga huruf terakhir dari kata pertama, tergantung bentuk susunan kata-katanya. Misal kalimat ‘langsa lam peunjurong’. Ketika dibalikkan, menjadi ‘langsong lam peunjara’ yang ketika diindonesiakan bermakna ‘segera dalam penjara’.

“Contoh lain?” tanya Ari. “Perlak tape,” sahut Je. Apa itu? “Pasti.. Perle tapak,” jawab Brahim. Haha. Ya. Kok tahu? “Karena orang kampung kami sering pakai bahasa balek.” Ya. Hampir seluruh kabupaten di Aceh menyisipi bahasek bala ketika bercakap-cakap dan bercanda.

Tak jelas sejarahnya secara pasti. “Saya mengetahui ketika bocah, ketika sudah mengerti apa yang orang-orang ucapkan. Katanya, mereka mendengar dari endatunya,” jelas Je.

Bahasek bala juga bisa diterapkan dalam Bahasa Indonesia. Namun ketika dibalik akan sulit menghasilkan kata-kata yang lucu. Cocoknya memang untuk bahaseh Aca. Namun, sebuah kalimat tak bisa dijadikan bahasek bala, “jika mempunyai huruf akhir yang sama,” kata Je. Misal, kata ‘bahasa Indonesia’, tak bisa dibahasek-balakan.

Kemudian kata Susilo Bambang Yudhoyono. Kalau mengambil kata pertama dan ketiga, ia tak bisa dibalik. Tapi kalau mengambil kata pertama dan kedua atau kata kedua dan ketiga, baru bisa. Maka jadilah, “Susilang Bambo,” atau, “Bambo Yudhoyonang.” Sebutkan contoh lainnya? pinta Isan, serius. Irwandi Yusuf akan jadi Irwanduf Yusi. Aceh Besar akan jadi Acar Beseh.

Adapula pada kata-kata pelesetan, seperti untuk ustadz yang tampilan luarnya saja ustadz, ilmunya tidak ustadz, maka ia akan dapat cap ‘Tuku ok’, dan ketika dibalik menjadi ‘Tukok u’ yang bisa dijadikan kayu bakar. Ada guru yang luarnya saja guru, ilmunya tidak guru. Maka akan dikata, ‘Guru beng’. Ketika dibalik akan jadi……, “gureng bu,” jawab Brahim, yang maknanya menggoreng nasi. Ada orang yang namanya Wan, maka akan disapa “Wan beulaceuek,” kata Je. Yakni, “weuek beulacan.” Belacan adalah penganan orang Aceh. Weuek samadengan membagi-bagikan.

Sesungguhnya bahasek bala unik dan lucu. Tapi pada perkembangannya, rakyat suka menerapkan dalam bentuk humor vulgar. Misal, “eh boh kruet,” sebut Je. Maka ketika dibalik, “jangan katakan, tak etis. Orang-orang tahu kok, kan sudah ada rumusnya di atas,” tegas Brahim. Atau kalimat, “mi kak nom, atau mi si arom,” sebut Je lagi. “Ah, janganlah kamu sebut seperti itu. Tak sopan,” saran Brahim. Sementara Ari sedang marah. Haha. Biarlah. “Ini siang, panas kawan. Kita harus refresh,” kata Isan.

Cukuplah saja. Orang sudah pada tahu kok. Kini, orang-orang sudar pintah berbahasek bala. Bahasek bala sudi jadah budaya oreh Acang dalam bertuti seharur-harur. Semoga saja, “bahasa ini berlanjut sampai pada masa anu cucak kiti nanta,” kata Je. Hahaha.[]

(CP HA 17/6/11)