Kelamaan


Ada yang berduka di balik penundaan Pemilukada Aceh. Abu Toy Sijoy meninggal kemarin. Padahal ia ingin sekali memilih bupati dan gubernur baru.

Dengar-dengar dari penuturan orang kampungnya, sebelum meninggal, kakek Je itu sempat mengucapkan “fuck you” kepada pemimpin yang hampir ludes masa jabatannya.

Continue reading “Kelamaan”

Gubernur, Bencana!


Suatu sore pada suatu periode kepemerintahan Aceh, belasan satpam siaga di lantai dua kantor gubernur. Seperti agak bosan menunggu, para pengawal melebur. Membuat kelompok-kelompok kecil. Bincang-bincang. Kesiagaan pun memudar.

Ada seorang lelaki tua di lantai dua itu. Ia duduk sendiri. Terasing dari para pengawal. Tiba-tiba, sang gubernur muncul dari ruangannya. Beberapa pengawal melihatnya dan lekas memberitahukan kawannya. Semua pengawal itu kemudian lari kucar-kacir untuk menyambut gubernur.

Eh, si lelaki tua itu jadi panik. Ia heran melihat para pengawal berlarian seperti orang-orang menyelamatkan diri dari terpaan bencana alam. Lelaki tua itupun bangkit dari duduknya dan mulai berlari-lari kecil di lantai dua. Sementara para pengawal sudah menemani gubernur di bawah sana yang turun melalui tangga utara kantor.

Continue reading “Gubernur, Bencana!”

Menanti Bantuan Seperti Saat Berbulan Madu


Ruslan dalam pekarangan rumah kecilnya di Lorong Cot Preh, Jumat (2/12/11). Makmur Dimila | Harian Aceh

Tiga puluh delapan tahun lalu, Ruslan lahir di Gampong Balohan, Kecamatan Sukajaya, Sabang. Empat saudaranya menyusul kemudian, bergiliran.

Namun sejak 1983, orangtuanya pindah. Tinggal pada sebuah jambo (gubuk) di Guha Kareueng, sebuah gua yang terasing di belantara dalam Dusun Alue Ie, Gampong Paya.

Mereka pindah lagi empat tahun kemudian. Di Lorong Cot Preh, juga Gampong Paya, orangtuanya mendirikan sebuah rumah panggung; berbahan kayu gunung, lima kali empat meter, satu kamar.

Hanya 17 kepala keluarga di lorong itu. Rumah orangtua Ruslan agak terasing. Kebisingan kota pun tak sampai ke telinga mereka, kecuali orkestra alam.

Lambat laun, ia tinggal sendiri di rumah mungil itu. Selepas ayahnya meninggal, empat adiknya kawin. Ibunya ikut ke salah satu saudaranya. Namun ia bahagia hidup di rumah yang jauh dari keramaian. Panorama dan ceracauan burung paling membuatnya betah.

Menghabiskan masa perjaka sendirian, Ruslan memelihara ternak selain bekerja serabutan. Ayam, bebek, lembu, tumbuh subur di rimba dalam gampong dengan jarak 16 km dari Kota Sabang itu. Karenanya, ia menganggap Sabang hanyalah hutan, yang kemudian setelah disulap jadi objek pariwisata tetap dominan belantara.

Continue reading “Menanti Bantuan Seperti Saat Berbulan Madu”

Empat Judul yang Memuaskan (Belajar Tipografi)


Minggu, 8 Januari 2012, empat judul puisiku naik di halaman Budaya Harian Aceh. Aku bangga. Bukan karena dimuat. Tapi kemajuanku dalam menulis puisi.

“Kali ini aku suka banget puisi bang Makmur. Wah gitu lah,” komentar Fira al Haura setelah membacanya. Anak kecil itu pernah meraih juara lomba puisi tingkat nasional dua kali pada 2011.

“Kukira itu sebentuk pembangunan diri. Setidaknya kau sudah berani bikin tipografi baru,” komentar Nazar Shah Alam, juara membaca puisi se-Aceh pada penghujung 2011.

“Bereh-bereh. Sudah lebih maju dari yang sudah-sudah,” komentar Redaktur Budaya Harian Aceh saat aku mengirimkan karya ini.

Selanjutnya, pembaca bisa menilainya sendiri. Check it out!

 

Di Balik Cermin

Masa depanmu ada di balik cermin
Tubuh cermin adalah tubuhmu
Di balik cermin belum tentu ada kamu
Tapi ada masa depanmu di balik cermin

[Rumah, Desember 2011]

Anak Negeri

Anak negeri menyeret bumi. Menyapu masa lalu dan menyingkap masa baru di langit renta. Langit-langit berkaki asap, atap-atap bumi bertulang ozon. Langit tumbang menimpa bumi. Anak negeri gulana.

Bumi bangkit. Suri raib. Duka mencair. Senyum membentang. Anak negeri riang. Bumi menebar jala, jala-jala kekacauan, kebalauan-kebalauan yang anak negeri tak tahu. Bumi menjulang. Membentur tapak langit. Menerobos masa baru. Menyingkap tabir, tabir-tabir kehancuran, kerusakan-kerusakan yang anak negeri tak tahu.

Aih, langit tumbang lagi menimpa bumi. Tak ada gempita lara. Tak ada pekik kepedihan. Ada kebisuan. Oya, langit, apa kabar anak negeri?

[Mes, Desember 2011]

Jawaban Malam Tua

Malam tua menurunkan jawaban: segurat kedamaian dari bulan semipurnama yang meredam deru motor pemuda kurang ajar; butir-butir keampunan rebah dalam tadahan-tadahan tangan yang membeku di kolong bubung rumah. Dan pada malam tua kau mengira bintang jatuh ke ubun-ubun malam? Bukan! Itu ampunan ditumpahkan.

[Apartemen, Januari 2012]

Pesan Petir pada Kampus Biru

Kau duduk merebah tubuh pada kursi goyang, mengepul awan rokok, di bibir jendela, mengarang kebahagiaan fana, pada malam muda. Kau lihat langit pekat membentang. Tak ada gemintang. Tiada pula bayanganku yang duduk bersandar di lengkungan bulan sabit. Sudah Januari, kau menanti sejak September. Penantianmu tergapai. Dan, petir meledak pada dinding langit. Kau tumbang. Mulut mengucap, aku tak dengar isinya. Hanya kutahu, cahaya petir menyampaikan pesan. Pesan yang sederhana: aku mulai membencimu petinggi kampus biru!

[Kantor, Januari 2012]     

 

Empat puisi itu berbeda sekali dibanding beberapa puisiku sebelumnya. Terutama dari segi perwajahan puisi (tipografi).  

Tipografi yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.

Saya sengaja ingin tampil beda. Hal itu muncul setelah aku sering-sering membaca puisi yang dimuat Kompas Minggu. Juga dipengaruhi oleh bacaan. Saya belakangan suka membaca karya sastra luas negeri. Misal saya akan membaca puisi dari peraih nobel sastra, Pablo Neruda, Tomas Transtromer, dan Rabindranath Tagore.

Ketika menuliskan empat puisi itu, pikiran saya merdeka dan jernih. Inilah salah satu syarat agar lincah saat mengarang, apapun.

Pesan Petir pada Kampus Biru, saya tujukan ke Rektor IAIN Ar-Raniry. Ada satu hal yang sangat saya benci dari kepemimpinannya.

Tiga lagi, untuk siapa aja boleh. Haha. Terimakasih. Mari menulis.