Minggu, 8 Januari 2012, empat judul puisiku naik di halaman Budaya Harian Aceh. Aku bangga. Bukan karena dimuat. Tapi kemajuanku dalam menulis puisi.
“Kali ini aku suka banget puisi bang Makmur. Wah gitu lah,” komentar Fira al Haura setelah membacanya. Anak kecil itu pernah meraih juara lomba puisi tingkat nasional dua kali pada 2011.
“Kukira itu sebentuk pembangunan diri. Setidaknya kau sudah berani bikin tipografi baru,” komentar Nazar Shah Alam, juara membaca puisi se-Aceh pada penghujung 2011.
“Bereh-bereh. Sudah lebih maju dari yang sudah-sudah,” komentar Redaktur Budaya Harian Aceh saat aku mengirimkan karya ini.
Selanjutnya, pembaca bisa menilainya sendiri. Check it out!
Di Balik Cermin
Masa depanmu ada di balik cermin
Tubuh cermin adalah tubuhmu
Di balik cermin belum tentu ada kamu
Tapi ada masa depanmu di balik cermin
[Rumah, Desember 2011]
Anak Negeri
Anak negeri menyeret bumi. Menyapu masa lalu dan menyingkap masa baru di langit renta. Langit-langit berkaki asap, atap-atap bumi bertulang ozon. Langit tumbang menimpa bumi. Anak negeri gulana.
Bumi bangkit. Suri raib. Duka mencair. Senyum membentang. Anak negeri riang. Bumi menebar jala, jala-jala kekacauan, kebalauan-kebalauan yang anak negeri tak tahu. Bumi menjulang. Membentur tapak langit. Menerobos masa baru. Menyingkap tabir, tabir-tabir kehancuran, kerusakan-kerusakan yang anak negeri tak tahu.
Aih, langit tumbang lagi menimpa bumi. Tak ada gempita lara. Tak ada pekik kepedihan. Ada kebisuan. Oya, langit, apa kabar anak negeri?
[Mes, Desember 2011]
Jawaban Malam Tua
Malam tua menurunkan jawaban: segurat kedamaian dari bulan semipurnama yang meredam deru motor pemuda kurang ajar; butir-butir keampunan rebah dalam tadahan-tadahan tangan yang membeku di kolong bubung rumah. Dan pada malam tua kau mengira bintang jatuh ke ubun-ubun malam? Bukan! Itu ampunan ditumpahkan.
[Apartemen, Januari 2012]
Pesan Petir pada Kampus Biru
Kau duduk merebah tubuh pada kursi goyang, mengepul awan rokok, di bibir jendela, mengarang kebahagiaan fana, pada malam muda. Kau lihat langit pekat membentang. Tak ada gemintang. Tiada pula bayanganku yang duduk bersandar di lengkungan bulan sabit. Sudah Januari, kau menanti sejak September. Penantianmu tergapai. Dan, petir meledak pada dinding langit. Kau tumbang. Mulut mengucap, aku tak dengar isinya. Hanya kutahu, cahaya petir menyampaikan pesan. Pesan yang sederhana: aku mulai membencimu petinggi kampus biru!
[Kantor, Januari 2012]
Empat puisi itu berbeda sekali dibanding beberapa puisiku sebelumnya. Terutama dari segi perwajahan puisi (tipografi).
Tipografi yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
Saya sengaja ingin tampil beda. Hal itu muncul setelah aku sering-sering membaca puisi yang dimuat Kompas Minggu. Juga dipengaruhi oleh bacaan. Saya belakangan suka membaca karya sastra luas negeri. Misal saya akan membaca puisi dari peraih nobel sastra, Pablo Neruda, Tomas Transtromer, dan Rabindranath Tagore.
Ketika menuliskan empat puisi itu, pikiran saya merdeka dan jernih. Inilah salah satu syarat agar lincah saat mengarang, apapun.
Pesan Petir pada Kampus Biru, saya tujukan ke Rektor IAIN Ar-Raniry. Ada satu hal yang sangat saya benci dari kepemimpinannya.
Tiga lagi, untuk siapa aja boleh. Haha. Terimakasih. Mari menulis.