Biecoffee with Love


Kemasan Biecoffee yang elegan. (FOTO: PM)
Kemasan Biecoffee yang elegan. (FOTO: PM)

Semasa pedekate dengan seorang perempuan Gayo ia berpikir, “saya memang harus berbisnis kopi bila sudah nikah kelak,” optimis pemuda itu pada 2008. Setahun kemudian, desainer koran  lokal itu menikahi si gadis. Continue reading “Biecoffee with Love”

39 Jam dalam Bus


Kami memutuskan berangkat ke Riau via jalur darat. Karena dana kami pas-pasan. Menumpangi Pelangi kelas Patas (kelas dua; faslitasnya di bawah kelas CC yang lebih mahal), kami cukup membayar ongkos 520ribu per orang. Harga itu cukup untuk mengantarkan kami ke Riau dengan transit di Medan.

Untuk memesan tiket Pelangi di Banda Aceh, kawan bisa datang ke loketnya—CV Pelangi—di Baiturrahman. Di simpang empat dari arah Masjid Raya, kawan bisa lurus saja tanpa belok kanan yang di tepinya ada toko buku ALIF. Sekitar 50 meter setelah simpang, loket akan ditemui di kiri jalan. Langsung saja masuk dan bilang saja pada kakak-kakak yang duduk di situ, bahawa “saya pesan tiket ke …”.

Kawan tinggal pilih, kelas Patas atau CC. Setelah memastikan, kawan akan disodori tiket. Dengan syarat, harus bayar dulu setidaknya berupa panjar kalau tak bisa tunai. Sudah itu, kawan tinggal persiapkan keberangkatan; misal berangkat di malam setelah sehari memesan tiket. Nah, jika ingin membatalkan keberangkatan, kawan harus melaporkan pada loket minimal tiga jam sebelum keberangkatan jika tak mau uang kawan ratusan ribu itu hangus. Dan pada lembaran tiket yang dibeli di loket itu, belum disebutkan nomor plat bus yang akan kita tumpangi.

Maka datanglah setidaknya setengah jam sebelum berangkatan di malam keberangkatan. Kawan masuk terminal Batoh. Lalu langsung menuju ke loket Pelangi lagi.Perlihatkan tiket yang sudah kawan beli itu pada resepsionisnya. Dia kemudian akan menuliskan plat bus yang akan kita tumpangi. Sudah itu, kita tinggal menunggu saja pengumumun, bahwa penumpang bus berplat nomor sekian sekian akan berangkat dan diharapkan pada saat itu kawan mendengarnya jika tak mau ketinggalan bus.

12 Jam ke Medan

Haaaa, pengalaman kami ni ya… Dari terminal Batoh, ya, kita akan berangkat ke Medan. Biasanya dari Banda Aceh ke Medan menghabiskan waktu 12 jam. Berangkat jam 9 malam, kami tiba dan transit di Medan jam 9 pagi. Transitnya di gudang Pelangi.. Sesuai ditulis di tiketnya, seharusnya kami berangkat lagi jam 11 siang dari Medan menuju Pekanbaru dengan mobil yang berbeda. Untuk mengetahui bus mana yang akan membawa kawan ke Pekanbaru, tanyakan lagi pada loket di gudang Pelangi itu. Perlihatkan tiket yang dibeli di Banda Aceh kemarin. Karyawan itu pasti akan mencatata nomor plat bus yang kawan tumpangi selanjutnya. Jangan lupa pula mendengar pengumuman keberangkatan, jangan sampai ketinggalan bus di Medan, apalagi tak ada sesiapapun yang kawan kenal di ibukuta Sumatra Utara itu.

Tapi kami hari itu berangkat dari gudang Pelangi memang jam 11, tapi berhenti lagi selama 2 jam lebih di loket Pelangi tak jauh dari gudangnya. Kami menyempatkan itu untuk salat Dzuhur. Juga bisa dimanfaatkan untuk makan-makan.

Serba-Serbi Penjual

Saat berhenti di loket itu, semua jenis penjual masuk bus dan menjajakan berbagai macam jajaan. Penjual bakso goreng, mie, tahu, bakwan, lemang, Koran, majalah, senter, radio, dan peminta-peminta. Yang menarik adalah seorang penyanyi (pengamen) berkaki satu. Aku sempat memotretnya.

Kami jadi sedih ketika mendengar ia menyanyikan tiga tembang sendu dengan gitar di tangannya. Kaki kirinya diganti dengan tongkat kayu. Suaranya lumayan merdu. Sesekali ia berujar, “Sekali lagi mohon maaf jika kehadiran saya kemari mengganggu kenyamanan perjalanan Anda.” Setelah menuntaskan tembangnya, ia menjulurkan bekas kemasan makanan ringan. Ia berjalan dari mulut hingga ekor bus. Beberapa orang memasukkan uang ke kemasan itu. Lelaki itu menerimanya dengan ramah. Diberi atau tidak ia menerimanya dengan ikhlas.

Ketika jam 13.30 kami baru berangkat lagi. Aku merasa sebal ketika bus yang kami tumpangi jalannya pelan sekali. Bagai merayap. Sudah itu, dalam bus hanya ada tivi berukuran mini yang menggayut di depan, samping sopir. Selama di bus, hanya nonton yang bisa dilakukan selain ngobrol dan makan.

Lagu Aceh Malu-maluin Aja

Dalam bus, ada berbagai suku dari Sumatra. Batak, Aceh, Padang, Minang ada di situ. Tapi kebanyakan lagu yang diputar adalah lagu Aceh. Mungkin sopir entah keneknya atau malah kedua-duanya dari Aceh. Aku jadi malu ketika lagu yang diputar itu lagu Aceh yang lirikinya meniru lagu India. Pasti orang non-Aceh berpikir, “o begitu lagu Aceh rupanya,” Haha. Kenapa tak diputar lagu-lagu yang ada khas keacehannya semisal Rafly, Kutidhing, dan sejenisnya. Alamak. Malu-maluini aja.

22 jam ke Riau

Seharusnya dari Medan ke Pekanbaru memakan waktu 14 jam. Tapi, kami berangkat jam 2 siang Sabtu, tiba di Pekanbaru jam 8 pagi Minggu. Melelahkan. Di antaranya kami melewati berbagai kabupaten di Sumatra Utara seperti Deli Serdang, Tembilihan, Sidempuan, Asahan, Batubara, Serdang Bedagai, dan Tebing Tinggi, dan perbatasan kabupaten Rokan Hilir (perbatasan Sumut dengan Riau). Dalam kurun itu, kami cuma singgah di rumah makan Batubara.

Dan selama perjalanan itu, bus hanya bisa merayap. Penyebabnya hujan yang menyirami bumi Riau sejak seminggu silam, ternyata. Takut tergelincir dan terperosok ke jurang, ya, terpaksa bus merayap. Karena sepanjang menuju ke Riau, kawan hanya bisa melihat perbukitan dan pohon sawit di sisi jalan. Apalagi ketika melewati Duri, Dumai, dan Siak, jalannya berkelok dan terjal, juga licin karena hujan.

Ojek/Oplet/Taxi/Bus Kota?

Kami diberhentikan di depan loket Pelangi di jalan Seokarno-Hatta. Seharusnya kami dijemput panitia, tapi karena mereka lagi tidak punya kendaraan, maka terpaksa kami harus pergi sendiri ke secretariat Bahana Mahasiswa, Unri.

Setelah minum di loket itu, jam 9, kami memutuskan untuk cabut. Kami sempat bingung memilih yang mana, ojek (RBT), oplet (labi-labi), taxi, atau bus kota (Aceh belum punya)? Masing-masing transportasi itu ada plus-minusnya.

Kata kakak di loket itu, kalau naik taxi bisa diantar langsung ke tujuan. Cuma, harganya mahal, bisa ratusan ribu. Kalau naik ojek, diantar sampe ke Unri saja. Harga bisa 60 ribu seorang. Kalau oplet, terlalu banyak harus berestafet. Artinya kami harus turun di sana-sini, naik-turun, berkali-kali. Khawatirkan tak tahu jalan. Harganya memang agak murah, 3000 sekali naik. Tapi jadi mahal juga kan kalau harus naik-turun berkali-kali. Lalu kalau naik bus kota, kami harus menumpangi oplet dulu, nanti di suatu simpang di kota, kami naik bus kota. Ribet.

Si Lay

Kemudian seorang pemuda yang kerap menyapa kami “Lay” menawari kami; antar kami dengan ojeknya. Tapi tartig (tarik tiga). Dan melewati jalur pintas. Sebab akan ditangkap polisi jika tartig. Ia minta kami membayarnya 60ribu jika kami mau. Ah, sama aja kan kalau naik dua ojek dan lebih nyaman malah, pikir kami.

Aku lihat Si Lay sangat berharap agar kami menerima tawarannya. Tapi tiba-tiba datang seorang ojek dan menawarkan kami. Kami mau ke Unri yang di Gobahnya, aku bilang sama tukang ojek itu. Ia menawarkan kami 25ribu seorang. Ya, boleh kami bilang. Lalu ia memanggil satu kawannya lagi. Lalu mengantar kami ke Gobah. Aku melihat Si Lay kecewa.

Selama duduk di belakang ojek yang ramah dan bernama Jamil itu, kami saling ngobrol bahkan tukar nomor hp. Katanya, jika nanti perlu semisal pesan tiket pulang, telpon saja dia. Kami akan dapat diskon 50%, sebab ia ada kawan di Pelangi. Ia juga sering datang ke Aceh. Ia suak mie dan kopi Aceh. Dan menurutnya, orang Aceh itu terkenal dengan gelek (ganja), di mana hal ini juga dituturkan oleh orang lain. “Biasanya dan pasti kalau bernama Makmur itu akan sukses. Apalagi kamu mahasiswa dan masih muda,” kata Jamil ketika mengetahui namaku. Lalu katanya, “kenapa ga bilang dari Aceh tadi (waktu di loket? Kami memanggil Lay bagi orang yang tidak kami kenal,” kata Jamil lagi. O, pikirku.

Hak Reman

Kami tiba di sekretariat Bahana sekitar jam 9 lewat. Jamil dan kawannya mengantar kami sampai di mulut sekret. Ketika sudah menurunkan kami, tiba-tiba kawannya Jamil minta tambah masing-masing 5ribu lagi. Katanya untuk membayar pajak (hak reman) buat calo yang di loket tadi. Tapi, “jangan. Biar saya yang bilang. Ga usah Makmur ya,” sahut Jamil dengan baik sekali. “Jangan tambah lagi la, ini dari Aceh,” kata Aang, senior Bahana, mendukung kami. Lalu mereka berdua pergi. “Kalau ada yang ingin dibantu, hubungi abang Makmur ya,,” kata bang Jamil sambil berlalu. Semoga Tuhan membalas kebaikan Jamil.

Di secret, kami disambut dengan baik. Aku juga memberikan mereka sepaket kopi Aceh. Dan mereka langsung menyeduhnya. Mereka suka sekali kopi Aceh. “Ada bawa sayur, Mur?” Tanya Aang bergurau. Sayur maksudnya ganja. Aku hanya tersenyum. Maklum. Mungkin stereotip ya.

Setelah istirahat dan kenalan, kami berangkat ke Sei Rokan Training Centre di Sungai Rokan, Siak, Riau, pada jam 2 siang. Butuh waktu lebih kurang 3 jam untuk sampai ke situ. Kami tiba ke lokasi di tengah belantara sawit itu jam 5 sore. Lokasi itu harsu masuk ke pedalaman dengan jalan penuh gundukan sekitar 5 km dari kecamatan Kandis. Dan sejak malam Senin, kami memulai acara workshop menulis narasi; panjang, dalam, dan terasa bersama Andreas Harsono dan Chik Rini.