Biecoffee with Love

Kemasan Biecoffee yang elegan. (FOTO: PM)
Kemasan Biecoffee yang elegan. (FOTO: PM)

Semasa pedekate dengan seorang perempuan Gayo ia berpikir, “saya memang harus berbisnis kopi bila sudah nikah kelak,” optimis pemuda itu pada 2008. Setahun kemudian, desainer koran  lokal itu menikahi si gadis.

Juli 2009, tak lama usai pesta, mereka berbulan madu di Kampung Jamur Uluh, Sp. Teritip,
Kec. Wih Pesam, Bener Meriah.  Pemuda ini menghabiskan waktu beberapa minggu di kediaman mertuanya. Inspirasi timbul dari celah-celah daun kopi arabica di kebun yang luas. “Kenapa tidak kita ciptakan branding saja,” usulnya pada istri.

Pernikahannya dengan perempuan dari tanah penghasil kopi menggairahkan semangat dagang. Pulang dari Wih Pesam, ia memikirkan nama branding untuk usaha kopi di sela-sela bekerja.

“Gunung Api,” sarannya. Namun pihak mertua tidak berdecak kagum. Biasa-biasa saja namanya. Sementara pemuda itu sudah menciptakan tagline yang terkesan angkuh “the king of coffee” alias rajanya kopi.

Suatu hari pada awal 2010 di rumah sewanya di Ie Masen, Ulee Kareng, Banda Aceh, pemuda Matanggeulumpangdua ini mondar-mandir ke segala sudut ruangan. Ini kebiasaannya ketika ingin menggapai sesuatu yang serius. Hingga ia masuk kamar mandi, jelajahnya berhenti di kata “bee” setelah kata-kata lain tak mengena.

Penyuka madu ini pun coba merangkai baru, “beecoffee.” Dia ingin menciptakan branding global untuk produk lokal. Sedikit terinspirasi dari “nescafe” yang mudah diucap dengan tiga suku kata. Dicarinya di mesin pencari Google. Ah, ternyata beecoffee sudah duluan ada, branding untuk kopi madu di luar negeri. Namun usahanya tetap merekah.

“Biecoffee, bagaimana?” tanyanya pada ayah mertua. “Wah, bagus tuh.” Waaaaah, biecoffee akhirnya memupus kelana pencarian branding usaha kopi si pemuda. Mendapat sambutan bagus dan belum ada di manapun setelah digugling, biecoffee pun mulai dipasarkan sejak Februari 2012 via online.

Tampilan toko online di biecoffee.com (FOTO: PM)
Tampilan toko online di biecoffee.com (FOTO: PM)

Kalau Anda buka situs biecoffee.com, seakan-akan masuk sebuah minimarket khusus menjaja kopi. Tersedia beberapa pilihan. Kini biecoffee yang dikemas per 200 gram itu mulai diterobosnya ke pasar internasional.

“Baru kita kirim ke Jepang kemarin (lima hari lalu),” ungkap Pozan Matang, suami Rusmawati ini, ketika saya kunjungi kediaman baru mereka di Punge Jurong, Banda Aceh, pada minggu terakhir September.

Mereka menggeluti profesi berbeda, namun membangun jalan alternatif dengan cinta yang kuat, “biecoffee” dan tagline baru: the Atjeh coffee from Gayo highland.

Kopi Horas, salah satu branding kopi gayo, menemani saya berkarya di Rumoh Aceh. Kini sudah ada penggantinya. (Foto: Ikbal Fanika)
Kopi Horas, salah satu branding kopi gayo, menemani saya berkarya di Rumoh Aceh. Kini penggantinya datang ketika dia pergi, hehe. (FOTO: Ikbal Fanika)

Kini, proses produksi karya saya di Rumoh Aceh akan ditemani biecoffee, di saat Kopi Horas kosong melompong dalam toples. Asik asik.[]

Rumoh Aceh, 27 September 2013

Author: Makmur Dimila

A calm boy. Love reading, travelling, and writing.

2 thoughts on “Biecoffee with Love”

Terimakasih telah berkunjung. Komentar Anda kebahagiaan kita. :D