Sabang; Putri Cantik yang Tak Terurus (4)


Beberap turis lokal sedang menyelam permukaan (snorkeling) di bibir pantai Pulau Rubiah. Ikan-ikan hias dengan segala jenis dan warna bisa dinikmati disini. Harian Aceh | Makmur Dimila

Perkembangan pariwisata Sabang selama masih minim perhatian, sehingga banyak potensi yang ada belum tergarap maksimal. “Padahal Sabang adalah destinasi pariwisata andalan di Aceh. Buktinya kebanyakan program hanya diinisiasi dari Sabang,” katanya.

Salah satu contoh yang luput dari perhatian Pemprov yakni, lokasi parkir representatif di Iboih dan taman hijau Sabang Fair, serta pengelolaan potensi wisata lain seperti UKM souvenir.

Karenanya, melalui forum itu walikota meminta dukungan anggota Pansus yang datang untuk mengaspirasikan, termasuk meningkatkan pembangunan jalan protokol yang saat ini masih terkendala drainase dan pengaman jalan.

Sementara itu Ketua DPRK Sabang, Abdul Manan, mengatakan pada atjehpost.com hari itu, potensi untuk pengembangan suvenir sangat potensial. “Misalnya, mengalokasikan anggaran untuk pelatihan kerajinan suvenir,” katanya.

Ketua Pansus, Muhibussabri, mengaku akan menyampaikan aspirasi itu ke Provinsi sehingga dinas Pariwisata Aceh lebih maksimal membantu. “Untuk itu, intensitas komunikasi Sabang dan provinsi harus ditingkatkan agar ada program yang terintegrasi,” katanya. “Provinsi juga harus koordinasi jika membuat program di Sabang,” sambungnya.

Disela-sela pertemuan, Muhibussabri sempat menanyakan Kadis Pariwisata Kota Sabang soal alokasi anggaran yang telah diplotkan ke Sabang. Saat itu, Kadis Pariwisata Yusfa Hanum mengatakan alokasi anggaran dari provinsi ke Sabang sekitar Rp1 miliar lebih yang diperuntukkan. Kecil bukan?

Kecuali Taman Laut Iboih yang punya “surga bawah laut” sebagaimana Zulham nikmati, objek wisata lain di Sabang sepertinya benar-benar umpama putri cantik yang tak terurus. Tugu KM Nol yang kotor, sejumlah pantai seperti di Sumur Tiga dan Anoe Itam yang tak punya wahana bermain—hanya sebatas panorama, hingga penataan jalan raya yang membingungkan turis, karena dominannya satu arah, sehingga tak punya jalur dua untuk memotong. Tepatkah alasan Walikota Sabang: Pemerintah Aceh kurang peduli?

Butuh Keramahan

Dalam kunjungannya ke Sabang awal Desember, Zulham mendapati pelayanan sebagian pribumi yang kurang ramah, seperti di warung nasi, café, dan toko pakaian. Kiranya, keramah-tamahan atau disebut hospitality sangat dibutuhkan untuk meningkatkan minat turis lokal maupun asing.

Teuku Kemal Fasya  dalam artikelnya “Never Visit to Banda Aceh” menulis, pariwisata sesungguhnya menjual hospitality, yaitu keramah-tamahan dan keterbukaan. Asal katanya adalah hospital, yang berarti tempat ramah dan nyaman bagi semua seorang.

Ia menyayangkan, di Indonesia kata itu diterjemahkan menjadi “rumah sakit” yang bermakna siapapun yang masuk ke sana insyaAllah bertambah sakit oleh bau karbol menyengat, muka judes perawat, dan belum lagi tagihan yang selangit. Kata antagonis hospitality adalah hostility yang berarti “permusuhan dan kebencian”. Sebuah daerah yang masih dalam taraf curiga, seharusnya tak perlu ambisi menjadikan tempatnya sebagai tujuan wisata.

Ia menyebutkan, pariwisata yang baik adalah kartu hijau menuju the city of hospitality, kota ramah nan nyaman. Turisme juga menjadi ajang pertemuan lintas kebudayaan (multicultural encounter), bermanfaat menambah pengetahuan bahwa ada banyak kebudayaan dan cara pikir lain di dunia ini yang bisa dipelajari, yang bisa kita dapatkan baik saat menjadi tuan rumah atau tamu.

“Hospitality inilah yang berhasil direbut oleh kota-kota seperti Kuala Lumpur, Singapore, Dubai, Mallorca, Mekkah, Vatikan, Manado, Venessia, Casablanca, Ankara, dll. Kota-kota itu sebagian terkenal sebagai kota yang religius. Mereka dapat mempromosikan religiusitasnya tanpa menyakiti hati tamu,” tulisnya di harian ini pada 10 Agustus 2011.

Ia mencontohkan pemerintah Uni Emirat Arab (UEA) ketika mempersilahkan Ratu Elizabeth II masuk ke dalam Mesjid Agung Seikh Zayed, setelah sebelumnya menggunakan jilbab dan kaus kaki. Sikap yang bersahabat itu akhirnya menambah pengetahuan sang ratu Inggris itu tentang dunia Islam. Ia bisa melihat langsung kemegahan mesjid itu dan memerhatikan praktik mengaji yang sedang dilakukan remaja puteri.

Sabang punya potensi besar untuk dijadikan pariwisata bahari internasional, kata vokalis Slank, Kaka, pada atjehpost.com beberapa hari lalu ketika mengunjungi Pulau Weh. Sayang, kini Sabang seperti putri cantik yang tak terurus.[Habis]

(FOKUS HA 17/12/11)

Sabang; Putri Cantik yang Tak Terurus (3)


Para turis lokal pulang dari Pulau Rubiah menggunakan boat kaca. Penumpang bisa melihat langsung ikan-ikan hias dari sebuah kaca di dek boat ini. Butuh Rp300 ribu menumpanginya satu trip. Harian Aceh | Makmur Dimila

Ratusan Situs Sejarah Belum Terdata

Selepas snorkeling, Zulham berniat melihat situs sejarah berupa benteng peninggalan Jepang di perbukitan dalam kawasan Pantai Rubiah. Dari pantai yang berhadapan dengan Pulau Seulakoe, ia memasuki hutan. Menaiki tangga berlumut. Anak tangga demi anak tangga. Hingga ia mencapai pucuk tangga semen itu.

Namun, di perhentiannya sebentar, ia hanya mendapati semak-semak yang terkesan angker. Tak ada tanda-tanda adanya benteng. Ia pun turun. Menemui tekong yang sedang menunggu tumpangannya dari menyelam.  

Sang tekong, Lukman, mengatakan, jalur yang ditempuh Zulham sudah benar. Di bukit kecil itu memang ada benteng peninggalan Jepang. Hanya saja, jejaknya sudah ditutupi semak belukar, sehingga sulit diakses para turis jika tak dipandu.

Nah, sekilas ada benarnya kata Fauzi Umar; Sabang ibarat putri cantik yang tak terurus. Salah satu buktinya adalah kurangnya pengelolaan situs-situs sejarah. Harian-aceh.com pada Senin (12/12/11) memberitakan, ratusan situs sejarah di Sabang belum terdata.

Kepala Bidang (kabid) Kebudayaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Sabang, Jamin Seda, mengatakan, hngga kini pihaknya baru mendata 600 lebih situs sejarah di Pulau Weh. Dan hanya 250 situs yang mulai diindetifikasi. Sebagian besarnya peninggalan Belanda dan Jepang.

Situs-situs sejarah di Sabang mencakup tiga bagian, sebut Seda. Situs religi seperti makam keramat 44, situs sejarah seperti bangunan peninggalan Kolonial Belanda, benteng-benteng peninggalan Jepang, dan situs purbakala seperti bekas-bekas peninggalan prasejarah.

Disbudpar Sabang saat ini belum memiliki data yang mencakup seluruh situs di Sabang. Terhadap situs peninggalan Belanda dan Jepang, pihaknya baru melakukan program pembuatan prasasti sebanyak 7 titik pada 2010 dan 10 titik pada 2011, dari 300 lebih situs peninggalan sejarah yang harus dilakukan penamaan atau diberikan prasasti.

Dana menjadi kendala utama Disbudpar Sabang. “Alokasi dana untuk pendataan dan pembuatan tanda situs-situs sangat minim, bahkan pada tahun 2012 tidak ada satupun alokasi dana yang disetujui untuk program tersebut,” aku Seda.

Disbudpar pada 2011 hanya memperoleh kucuran dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Kota (APBK) Sabang senilai Rp3 miliar untuk berbagai program yang telah disiapkan. “Namun khusus program kebudayaan dan situs sejarah hanya memperoleh bagian di bawah Rp200 juta, sehingga tidak cukup menjalankan program tersebut,” katanya.

Pemerintah Aceh Kurang Peduli

Pengumpamaan Fauzi Umar barangkali semakin mendukung bila menyimak keterangan Walikota Sabang, Munawar Liza Zainal, kepada atjehpost.com, beberapa waktu lalu.

Walikota menegaskan, selama ini Pemerintah Provinsi Aceh kurang peduli terhadap pembangunan pariwisata di Kota Sabang. Bahkan sejauh ini provinsi sedikit sekali mengalokasikan dana untuk wisata di Sabang.

Munawar Liza menyampaikan keluhan saat Tim Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang terdiri empat Anggota Pansus Otsus, Muhibussabri, Safwan Yusuf, Akhyar, dan Gufron Zainal Abidin melakukan kunjungan kerja ke Sabang, Senin (5/12/11), di Aula Sekretariat Kota Sabang.Bersambung

(FOKUS HA 17/12/11)