Beribadah di Warnet

Seperti makhluk hidup membutuhkan air, begitulah manusia membutuhkan internet hari ini. Terlepas dari baik dan buruknya, internet hadir sebagai solusi cepat untuk mendapatkan informasi, teman, jaringan, dan sebagainya, meski terkadang dipergunakan untuk hal-hal yang salah. Hal itu pula yang sedang marak terjadi pada anak-anak Aceh kini.

Di setiap warung internet (warnet) di ibukota provinsi, kotamadya, ibukota kabupaten, dan di kampung segala kampung, dipenuhi oleh anak-anak yang mungkin tak punya komputer atau laptop. Di warung kopi yang menyediakan fasilitas wi-fi, remaja dan pemuda tak bosan-bosannya menghadap dan menatap layar laptop. Khusus untuk anak, sayangnya, ada yang masuk warnet di saat jam belajar. Mereka bolos sekolah. Lukisan macam ini amat kentara terpampang di ibukota provinsi, yakni Banda Aceh. Sepintas jika dilihat, mereka seperti beribadah di warnet, bukan di masjid.

Sehingga, seperti diberitakan Serambi Indonesia (22/1/11), Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) meminta kepada Pemerintahan Kota (Pemko) Banda Aceh untuk menertibkan/menyarankan para pengelola warnet supaya tidak mengizinkan anak-anak masuk warnet ketika jam bersekolah. Para alim ulama itu bukan tak beralasan, sebab seperti dilansir harian itu, belakangan ini anak-anak berseragam sekolah sering masuk warnet di saat jam belajar. Itu dibenarkan lagi oleh pantauan wartawan harian itu bahwa anak-anak dan remaja berseragam sekolah memang sering masuk warnet di saat jam belajar, dengan diperkuat oleh pengakuan beberapa warga yang resah melihat keadaan demikian.

Untuk menguatkan realita itu, saya sengaja masuk warnet di kawasan Kp. Mulia, Banda Aceh hari itu juga di saat jam belajar bagi siswa tingkat dasar dan menengah, sekira jam 11 siang. Dan benar, memang ada beberapa anak berseragam SMP yang lagi berselancar di dunia maya. Entah siswa itu cepat pulang sekolah hari itu, entah sengaja  bolos. Anehnya, saya dengar dan intip, mereka hanya bermain game online, bukan digunakan untuk hal-hal positif. Tapi baguslah, ketika sehari kemudian, Pemko Banda Aceh mengabulkan permintaan pihak HUDA.

Namun bila dipikir-pikir, siswa itu pintar juga mengelabui gurunya di sekolah. Entah bagaimana anak terdidik itu bisa lolos dan bolos. Atau memang anak-anak itu keluar pagi dari rumah setelah pamitan pada orangtua, tapi tak sampai ke sekolah. Mereka bisa saja bersembunyi, lalu jam-jam 10 pagi keluar dan mencari tempat berteduh dari ancaman razia polisi dan pihak sekolahnya ke warnet. Jika benar demikian, maka itu menjadi “peer” bagi orangtua siswa dan pihak sekolah. Pula ada baiknya jika polisi maupun WH melakukan razia terhadap warnet-warnet yang tersebar di mana-mana. Namun itu juga tanggung jawab bagi pengelola warnet jika ingin generasi Aceh cerdas.

Sekarang memang jamannya manusia membutuhkan internet. Tak ke warnet, melalui HP bagi yang tak punya laptop atau pinjam modem teman bagi yang punya komputer jinjing itu pun jadi. Bila sebagian kalangan remaja dan pemuda mungkin untuk bergaya-gaya atau untuk jual-beli ‘chip’, maka kemungkinan anak-anak lebih banyak menggunakan untuk game online. Yakin dan percaya, mereka pasti memanfaatkan jaringan internet untuk mencari bahan dan informasi juga kawan baru atau fitur-fitur lainnya, tapi itu pasti diselingi dengan keasikan tersendiri bermain di dunia maya. Bila satu jam membuka internet, maka 10 menit saja untuk hal positif.

Anak-anak, dalam hal ini siswa, adalah tunas-tunas bangsa yang nantinya akan tumbuh lalu menjadi motor dan mengendarai di tempat ia berpijak. Jika ia cerdas, maka cerdaslah penghuni tempat itu. Jika ia bodoh apalagi ‘batat tungang’, maka bodohlah penghuni tempat itu. Karena itu anak perlu dididik sejak dini agar tidak merugikan bangsa di kemudian hari. “Anak itu ibarat anak panah yang dilepas dari busur,” kata penyair Kahlil Gibran. Seorang pemanah tak akan bisa membelokkan panahannya usai anak panah meluncur. Maka bidiklah dengan tepat sebelum anak panah dilepas dari busurnya.  Sangat masuk akal, bukan?

Untuk menghasilkan anak yang pintar dan cerdas, saya tawarkan dua solusi. Pertama, kembali ke tempo dulu; jaman di mana anak-anak menggemakan Alif Ba Ta di saat usai salat magrib. Orangtua harus menggalakkan anak pada membaca, memahami, dan mempelajari Al-Quran. Jika sang ayah dan atau ibu tak sanggup mengajarinya, maka dengan senang hati antarlah ke TPA atau pesantren terdekat dan teraman di kampung Anda. Dan tak hanya di situ, di saat pulang dari pengajian, bolehlah Anda menyuruh si buah hati untuk mengulang kembali apa yang telah ia dapatkan. Jangan sampai anak-anak asik facebookan di HP orangtuanya.

Kedua, belajarlah pada Jepang. Di negeri Sakura itu, sejak kecil anak-anak sudah disodorkan buku. Buku apa saja, siapa saja, di mana saja, dan kapan saja mereka selalu menyempatkan diri untuk membaca. Khusus anak-anak, Jepang telah menciptakan buku pelajaran dalam bentuk komik (manga). Andai Indonesia juga Aceh tentunya meniru Jepang, sungguh sebuah langkah maju meski harus belajar pada trik pintar ala negeri mantan penjajah Indonesia itu. Ini perlu diterapkan, sebab pengaruh besar suatu kebiasaan itu adalah karena keadaan lingkungan sekitar. Jika lingkungannya pada banyak yang membaca, maka semalas apapun ia, lambat laun pasti ikut membaca juga.

Sekali lagi, yang hidup di era globalisasi ini memang harus belajar menggunakan internet agar tidak buta teknologi dan tak ketinggalan jaman, tapi janganlah sampai terkesan seperti menghambakan diri kepada dunia maya. Apalagi sampai menunaikan ‘ritual’ itu dalam sehari semalam lima kali, hanya untuk hal negatif dan membuang uang. Sejatinya banyak hal positif yang bisa diambil dari internet, seperti mencari teori suatu ilmu dan trik, juga bagi yang suka mengikuti lomba dan membaca, layanan internet banyak menghidangkan apa yang dibutuhkan manusia melalui mesin pembacanya. Semoga, anak-anak Aceh mau maju. Saya rindu melihat orang Aceh membaca buku di mana dan kapan saja, bagaimana dengan Anda?

 

Penulis; mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry, anggota FLP Aceh, dan alumnus MJC Banda Aceh.

(Telah dimuat Harian Aceh di rubrik Analisis ed. 24 Januari 2011)

 

Author: Makmur Dimila

A calm boy. Love reading, travelling, and writing.

2 thoughts on “Beribadah di Warnet”

Leave a reply to makmurdimila Cancel reply