Setelah 5 Tahun, Mampukah Hidup dengan Menulis?

Pekerjaan Menulis

Sabtu, 19 Desember 2015, usia saya genap 25 tahun. Seberapa banyak perbuatan baik dan buruk yang telah saya lakukan? Yang buruk sebaiknya diingat dan lupakan kebaikan.

Ironis. Saya yang sudah 5 tahun candu menulis tak pernah menuliskan dua hal itu. Tapi, Malaikat Raqib dan Atid tak pernah lupa. Hanya bisa berdoa semoga diampuni dosa-dosa, diberkahi umur dan selamat iman. #amin…

Menggapai 5 tahun pertama

Saya konsisten menulis sejak 2010. Setengah dekade. Berawal dari hobi. Mulai menjadi profesi semenjak medio 2014.

Sebuah prestasi bagi saya sendiri, karena berhasil melalui fase pertama (5 tahun) kepenulisan tanpa penyesalan, tapi penuh warna—seperti pelangi yang muncul sehabis hujan di atas perbukitan .

Artinya, mulai hari ini, saya akan masuk ke lima tahun fase kedua, untuk menjadi penulis sukses. #mari doakan sama2, “Amin…” 😀

#Sukses seperti siapa?

Pram? Heummm…

Pokoknya mulai saat ini saya ingin jadikan menulis lebih dari sekedar hobi dan kreatifitas. Haruslah, menulis itu menjadi pekerjaan tetap yang inspiratif. Bekerja untuk diri sendiri dan orang banyak.

Bagi saya, menuliskan objek apa saja—suatu tempat, peristiwa, atau seseorang—mesti disertai inspirasi atau pengetahuan. Setidaknya ada satu novelty (hal baru) yang mencerahkan pikiran pembaca di dalam cerita.

Tentunya semakin hari, kualitas tulisan harus semakin bagus, seiring produktifitas yang juga harus meningkat. Istilahnya, “menulis profesional”, bukan asal.

Sejauh ini saya cukup menikmati dunia kepenulisan. Tak hanya kenikmatan (kepuasan) batin. Tetapi juga nikmat lain dalam bentuk benda, jaringan pertemanan, jalan-jalan, dan sedikit uang.

Terima kasih saya kepada seluruh guru (terutama: mentor menulis) baik ilmu dunia maupun akhirat. Selain keluarga dan lingkungan—kerabat, pendidikan, komunitas, teman kerja, dan orang-orang baru yang selalu saja bertambah dalam setiap menempuh perjalanan. Mereka sungguh membantu.

Menebarkan inspirasi and get money

Pemenang Kompetisi Blog Wego

Memasuki fase kedua ini, saya anggap menulis sama dengan penjual. Menulis sama dengan pegawai swasta. Menulis pun sama dengan petani. Bedanya, bagaimana menghasilkan produk berkualitas dan persentase pendapatan dari jerih payahnya bekerja.

Semenjak dua tahun lalu, rekening atau saku saya terisi dari hasil menulis—dan segala urusan yang terkait dengan dunia media massa. Namun segera saja, dalam satu dua hari kembali lenyap tanpa terdata. Uang mengalir begitu saja, tak bisa dihentikan, dan tak mampu untuk dijejak ulang.

Karena itu, per November 2015, saya ambil inisiatif: harus ada Manajemen Keuangan. Saya harus kelola sendiri keuangani. Membuat perencanaan keuangan bulanan, target kerja & hasilnya, dan mencatat setiap uang masuk dan keluar.

Mulailah setiap menjelang tidur di malam hari, saya bikin laporan keuangan pribadi di aplikasi Smartphone. Alasannya, catat di telepon pintar itu fleksibel. Bisa di mana dan kapan saja. Sekecil apapun saya tuliskan, meski kadang tidak terlalu rinci. Yang penting jelas uangnya ke mana dan dari mana datangnya.

Dan sebagai penulis pemula, berapa income saya per November?

> 4 juta

Alhamdulillah. Tapi pengeluarannya pun tak kalah besar. Sekitar 90 % dari total pemasukan. Big money. Boros, untuk hidup seorang diri. Syukurnya, saya tahu kemana semua uang itu pergi.

Rata-rata, pengeluaran saya per hari selama November di Banda Aceh, Rp 50 ribu. Itu hidup enak. Dalam artian, segala kebutuhan pangan, sandang, dan hiburan, dengan mudah didapat. Tinggal beli. Namun gaya hidup ini tak akan saya lanjutkan ke bulan selanjutnya. #Sangat tidak recomended!

Tapi setidaknya, saya hampir berhasil mematahkan momok “penerbit makan daging penulis makan tulang”. Di bulan-bulan selanjutnya saya harap ujian ini bisa saya taklukkan.

Dari mana saya dapat uang?

Foto kiriman Makmur Dimila (@makmurdimila) pada Sep 1, 2015 pada 6:17 PDT

Membangun dan menjaga relasi. Menjadi pihak ketiga untuk proyek penulisan buku. Dari sinilah sumber utama. Di samping saya berkontribusi tulisan untuk beberapa media. Sementara safariku.com menjadi mobil bagi saya untuk mencapai proyek-proyek di atas, di luar tujuan utama menebarkan inspirasi sebuah perjalanan.

Soal perjalanan tahun ini, saya sangat bersyukur bisa ke luar negeri untuk pertama kali. Melintasi benua. Ke Australia. Perjalanan 5 minggu itu sungguh di luar dugaan. Gratis pula.

Bukan sekedar jalan-jalan. Saya meraih fellowship dari Pemerintah Australia bersama 16 wartawan muda Asia Pasifik lainnya—8 dari Indonesia—untuk mengikuti kursus jurnalistik di Asia Pacific Journalism Centre (APJC), Melbourne. Capaian yang tak masuk dalam resolusi tahun 2015!

Allah memang Mahaadil. Capaian itu cukup menutupi beberapa resolusi tahun Resolusi 2015 yang tak tercapai. Sebut saja, salah satunya, saya gagal menerbitkan buku karya pribadi. Hanya beberapa buku kepentingan pihak ketiga yang berhasil saya garap then earned money. 😀

Baiklah, resolusi tahun ini akan saya masukkan dalam resolusi tahun 2016.

Makmur Dimila APJC
Saya menerima sertifikat peserta short course “Women, media and economic literacy in Indonesia, Timor-Leste and the Pacific” dari Direktur APJC, John Wallace, di Kantor APJC, Melbourne. Photo: Dok. APJC

Cerita yang belum tersampaikan

Sejatinya saya masih punya banyak bahan cerita, yang diperoleh dari jalan-jalan. Belum sempat saya rangkai dan publikasi. Inspirasi tentang tempat-tempat dan orang-orang yang pernah saya datangi atau lalui bersama.

Penyebabnya, menulis profesional lebih sulit dari melubangi batu gunung. Pikiran perlu diberi jeda antara masa setelah rampungkan satu judul artikel dan hendak menggarap judul lain.

Kadang saya butuh membaca ragam jenis buku atau tulisan di media online, untuk memperbarui wawasan dan kosa kata.

Sesekali menonton film—Hollywood dan animasi—untuk mempelajari alur, plot, tokoh dan penokohan, serta suasana yang dibangun dalam sebuah cerita.

Ini penting dilakukan jika pikiran sudah berat untuk menulis. Bila membaca dan nonton film pun tak mempan, saya akan pilih jalan-jalan ke luar kota!

Kepada orang yang sudah saya janjikan akan mengisahkan pengalaman hidupnya dalam tulisan, mohon bersabar, akan saya tunaikan pada waktu yang tepat.

Sudi kiranya berikan waktu lebih banyak kepada saya yang belum seberapa ini dalam menulis.

Penulis Makmur Dimila
Pesan kepada saya dari seorang mentor leadership training di Melbourne, Dolores Cummins. Sungguh menantang! Photo: Makmur Dimila

Mak dan Ayah, dua orang yang paling berjasa. Meskipun hingga saat ini saya belum berhasil membuat keduanya benar-benar bahagia.

Semoga, kelak, saya bisa bahagiakan mereka dengan menjadi penulis sukses dan menyadari betapa pentingnya kehadiran penulis di dunia ini. #amin 😀


 

Selamat mengulang tanggal lahir, Makmur Dimila 😀


 

Terima kasih. Keep inspiring!

Rumoh Aceh, 19-20 Desember 2015

 

Author: Makmur Dimila

A calm boy. Love reading, travelling, and writing.

2 thoughts on “Setelah 5 Tahun, Mampukah Hidup dengan Menulis?”

  1. Keren..
    Selamat bertambah umur bg makmur..
    Menjadi yang terbaik bukan hal terpenting tapi menjadi lebaih baik itu yg utama..

Terimakasih telah berkunjung. Komentar Anda kebahagiaan kita. :D